Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

makalah negara hukum yang dapat dikatakan demokratis? why?


MAKALAH



NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS”

https://suara1996.blogspot.co.id/2017/12/negara-hukum-yang-demokratis.html

 



Di susun oleh :
NAMA                     : ROSUL PADRI
NIM                         : 50 2014 431
MATA KULIAH    :  KAPSEL HTN





FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


2017



KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME bahwa penyusunan makalah yang berjudul Negara Hukum yang demokratis dapat kami selesaikan dengan baik. Adapun penyelesaian makalah berdasarkan tugas mata kuliah kapsel HTN yang di bimbing oleh bapak atau ibu selaku dosen mata kuliah tersebut. Kami mengucapkan terimakasih atas peran dan kerja keras tim penyusun dalam penyelesaian ini. Tak lupa kami mengharapkan masukan yang berupa kritik atau saran. Semoga makalah ini bermanfaat.








Palembang,  Desember 2017

                          
     
                               
Rosul Padri 
        




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv
BAB I        PENDAHULUAN
1.1                       LATAR BELAKANG MASALAH……………………………. 1
1.2                       PERUMUSAN MASALAH……………………………………. 2
1.3                       TUJUAN PENULISAN………………………………………… 2
BAB II       PEMBAHASAN
2.1                       Pengertian Negara Hukum……………………………………… 3
2.2            Ciri-ciri Negara Hukum………………………………………….4
2.3                       Prinsip-Prinsip Negara Hukum………………………………….6
BAB III      PENUTUP
                    3.1            Kesimpulan………………………………………………………..16
                    3.2            Saran………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..v





  

BAB 1

PENDAHULUAN

1.4  LATAR BELAKANG MASALAH

Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan terlibatnya masyarakat dalam penentuan kebijakan publik merupakan pencerminan suatu negara merupakan negara yang menganut hukum dan demokrasi yang berjalan seiring dan saling melengkapi. Negara sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai tidak akan mengkesempingkan perananan masyarakat dalam merumuskan dan mengimplementasikan tujuan bersama tersebut.
Negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah negara yang mampu memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan pendidikan dan perbaikan ekonomi. Dari empat sokongan itu, keseimbangan antara kebebasan dan penegakan hukum akan memperkuat dua pilar berikutnya. Diperlukan upaya meningkatkan peran dan kualitas demokrasi dari tingkat prosedural ke level substansial.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah hubungan antara negara hukum dan demokrasi.

1.5  PERUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian negara hukum ?
2.      Bagaimana hubungan antara negara hukum dan demokrasi ?
3.      Bagaimana ciri-ciri negara hukum ?
4.      Apa prinsip-prinsip negara hukum ?

1.6  TUJUAN PENULISAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah  KAPSEL HTN dan ingin lebih mengetahui dan mengkaji tentang  hukum dan demokrasi serta untuk mengetahui hubungan negara hukum yang demokratis.


 
  
BAB II
PEMBAHASAN

2.2  Pengertian Negara Hukum

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
  1. Perlindungan hak asasi manusia.
  2. Pembagian kekuasaan.
  3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
  4. Peradilan tata usaha Negara.
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah negara yang penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan  secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. (Mustafa Kamal Pasha,2003).
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karenanya negar dalam melaksakan hukum harus memperhatikan tiga hal tersebut. Dengan demikian hukum tidak hanya sekedar formalitas atau prosedur belaka darikekuasaan.  Apabila negara berdasarkan hukum maka pemerintahan negara itu harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi negara merupakan sarana pemersatu bangsa. Hubungan antar warga negara dengan negara, hubungan anatar lembaga negar dan kinerja masing-masing elemen kekuasaan berada pada satu sistem aturan yang disepakati dan dijunjung tinggi.

2.2  Ciri-ciri Negara Hukum

Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut.
  1. Hak asasi manusia
  2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
  3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
  4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut.
  1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
  3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Di samping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik ialah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu
  1. Perlindungan HAM
  2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, dan
  3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri-ciri khas negara hukum, yaitu
  1. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
  2. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak.
  3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
  1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
  2. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
  1.  Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.

2.4      Prinsip-Prinsip Negara Hukum

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial.
1. Tujuan Negara Hukum
Seperti kita ketahui bahwa masalah negara hukum pada hakikatnya tidak lain daripada persoalan tentang kekuasaan. Ada dua sentra kekuasaan. Di satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang menjadi syarat mutlak untuk dapat memerintah. Di lain pihak nampak rakyat yang diperintah segan melepaskan segala kekuasaannya. Kita menyaksikan bahwa apabila penguasa di suatu negara hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kebebasan rakyatnya, maka lenyaplah negara hukum. Dengan demikian nyatalah betapa penting tujuan suatu negara dalam kaitannya dengan persoalan kita.
Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum ialah mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan kepentingan golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan selalu menyebabkan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Menurut Montesqueu, negara yang paling baik ialah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara mempunyai tiga inti pokok yaitu:
1.      Perlindungan HAM
2.      Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara
3.      Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Disamping itu salah satu tujuan hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya kepastian hukum  (rechtzeker heid). Kepastian hukum menjadi makin dianggap penting bila dikaitkan dengan ajaran negara berdasar atas hukum. Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu hukum bahwa hukum tertulis dipandang lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan hukum tidak tertulis.
Negara  Indonesia  sudah  menjadi  negara  hukum  yang  demokratis.  Langkah pertama  untuk  membuktikan  bahwa  jawaban  ini  beralasan  adalah  mencari  kriteria tentang negara hukum yang demokratis.
Menurut Konperensi The International  Commision  of Yurist   di Bangkok pada
1965,  dikemukakan   syarat-syarat  dasar  yang  harus  dipenuhi  oleh  Representative
Government Under The Rule of Law (Negara hukum yang demokratis) adalah:
1.   Adanya proteksi konstitusional.
Proteksi konstitusional adalah adanya perlindungan dari negara kepada rakyatnya mengenai  hak-hak asasi manusia  secara  konstitusional.  Hal ini termasuk  adanya
jaminan dalam hukum, cara memperoleh perlindungan tersebut.
2.   Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
Lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak adalah adanya lembaga kehakiman yang mandiri, dan di dalam melaksanakan proses peradilan tidak akan mendapatkan pengaruh dari mana pun dan tidak boleh memihak kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa.
3.   Adanya pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan  umum  yang  bebas  adalah  terselenggaranya  pemilihan  umum  dengan tanpa adanya paksaan dan penekanan kepada rakyat yang melakukan hak pilihnya.
4.   Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Kebebasan menyatakan  pendapat  adalah rakyat  berhak dan memperoleh  jaminan dalam  hukum  untuk  dapat  mengeluarkan  pendapat  baik  secara  tertulis  maupun lisan, baik sendiri maupun bersama-sama.
5.   Adanya kebebasan berserikat dan melakukan oposisi.
Kebebasan berserikat dan melakukan oposisi adalah adanya jaminan dalam hukum bagi  rakyat  untuk  mendirikan  perserikatan  atau  partai  politik  yang  didirikan tersebut,  dan rakyat  mempunyai  kebebasan  melakukan  oposisi  atau  kritik  yang membangun  baik  melalui  wakil  rakyatnya  (dalam  forum  lembaga  perwakilan rakyat) maupun tidak, asalkan menurut peraturan perundang-undangan.
6.   Adanya pendidikan civic.
Pendidikan civic ialah dilakukannya  pendidikan kewarganegaraan  kepada rakyat, sehingga  rakyat  dapat  mengetahui  dan mengerti  hak apa saja yang dimiliki dan kewajiban   apa  saja   yang  harus  dilakukan  berdasarkan   peraturan  perundang- undangan yang berlaku (Toto Pandoyo, 1983: 98)
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut di atas, kami akan mengurai satu per satu kreteria  yang  dapat  dipakai  sebagai  alasan  bahwa  hipotesa  kami  yaitu  secara  formal Indonesia  sudah menjadi  negara  hukum  yang demokratis,  adalah benar.  Namun,  secara meteriil masih perlu didiskusikan.
Adanya perlindungan konstitusional
Kalau kita membaca UUD 1945 sebelum diamandemen pada 2000, di sana hanya ada tujuh butir ketentuan yang mengatur tentang HAM, yaitu pasal 27 ayat (1), Pasal 27
ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan pasal 34.
Pasal-pasal tersebut jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan  tentang  HAM  atau  human  rights,  melainkan  hanya  ketentuan  mengenai  hak warga  negara atau  the citizens’  rights.  Jika jumlah pasal  yang mengatur  tentang  HAM antara  sebelum  UUD  1945  diamandemen  dan sesudah  UUD  1945  diamandemen  tentu sangat jauh beda jumlahnya. Hal demikian ini karena sejarahnya.
Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak
Pasal 1 UU Nomor  14 Tahun 1970  tentang  Ketentuan-ketentuan  Pokok Kekuasaan Kehakiman  menyatakan   bahwa “Kekuasaan  kehakiman  adalah kekuasaan  Negara  yang merdeka  untuk  menyelenggarakan   peradilan  guna  menegakkan   hukum  dan  keadilan
berdasarkan   Pancasila,   demi  terselenggaranya   Negara   Hukum   Republik   Indonesia’.
Penjelasan  pasal tersebut menyatakan  bahwa  “Kekuasaan  Kehakiman  yang merdeka  ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudicial, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang- undang.  Kebebasan  dalam  melaksanakan  wewenang  judicial  tidaklah  mutlak  sifatnya, karena  tugas  dari   Hakim  adalah  untuk  menegakkan  hukum  dan keadilan  berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi   landasannya,    melalui   perkara-perkara    yang   dihadapkan   kepadanya,   sehingga keputusan  mencerminkan   perasaan  keadilan  bangsa  dan  rakyat  Indonesia”.   UU  ini merupakan  pelaksanaan  dari  Pasal  24  UUD  1945,  dibuat  pada  masa  Orde  Baru  , diundangkan pada 17 Desember 1970 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan dan intervensi kekuatan di luarnya merupakan masalah yang sangat esensial dalam penegakan hukum. Kalau kita membaca Pasal 1  UU Nomor  14 Tahun  1970,  maka  kita  akan percaya  bahwa  hakim  pasti akan menegakkan hukum dan keadilan. Namun kenyataannya, selama Orde Baru jaminan UUD dan undang-undang atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak dapat berjalan sebagaimana   mestinya.   Dalam   berbagai   perkara   yang   berkaitan   dengan   eksistensi, kebijakan atau kewibawaan kekuasaan, majelis hakim bukan saja dituntut bertindak hati- hati, tetapi adakalanya wajib mengikuti kehendak yang berkuasa.
Di suatu tempat di Jawa Barat, seorang pelajar di hadapkan ke pengadilan pidana, hanya karena ada yang mendengar pelajar tersebut sambil bermain dengan kawan-kawannya mengomentari gubernur yang sedang berkampanye. Dalam memeriksa perkara-perkara gugatan PDI pimpinan Megawati, pengadilan menerima pesan bahkan arahan agar tidak memberi  peluang  beracara  apalagi  memenangkan   gugatannya.   Kekuasaan   menjelma menjadi sesuatu yang tidak pernah dapat bersalah apalagi dipersalahkan. Kelompok “Petisi Lima Puluh” bertahun-tahun dikucilkan dan dicabut berbagai kebebasannya (berniaga, bepergian,  menghadiri pertemuan,  dan lain-lain), hanya karena menyampaikan  pendapat yang dianggap  mengusik  kekuasaan  yang tidak boleh disentuh oleh perbedaan pendapat dan kritik. (Bagir Manan, 2005: 121)
Peristiwa sebagaimana dicontohkan oleh Bagir Manam tersebut, karena sebelum amandemen  UUD  1945,  secara  struktural  kekuasaan  kehakiman  tidak  dapat  lepas  dari
kekuasaan  lembaga  eksekutif.  Dengaan  adanya  Departemen  Kehakiman  dapat  timbul
pandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya merdeka. Kiranya tidak proposional  apabila  para  hakim  itu  dibina  oleh  satu  unit  organisasi  yang  bernaung  di bawah lembaga eksekutif seperti Departemen Kehakiman, meskipun itu hanya menyangkut administrative  dan  finansial.  Paling  tidak  ada  kesan  bahwa  para  hakim  itu  menjadi bawahan eksekutif. Posisi hakim terhadap eksekutif dapat dibaca dalam Pasal 11 ayat (1) UU  Nomor  14  Tahun  1970  yang  menyatakan  bahwa  ‘Badan-badan  yang  melakukan peradilan  tersebut  pasal  10  ayat  (1)  organisatoris,  administrative,  dan  finansial  ada  di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan’. Para hakim yang berada di bawah Departemen  menurut undang-undang  tegas hanya dalam bidang organisatoris, administrative  dan  financial,  namun  tetap  ada  kekhawatiran  akan  gangguan  kebebasan hakim menjadi  alasan.  Karena  bagaimana  pun karier para hakim akan bergantung  juga kepada departemen. Meskipun secara formal hakim memiliki kebebasan dalam menangani suatu perkara,  namun  mungkin terjadi bahwa  sebagai pegawai  negeri secara psikologis hakim   tidak   berani   mengambil   sikap   untuk   membuat   keputusan-keputusan    yang bertentangan  dengan  kebijakan  pemerintah  yeng  merupakan  induk  korpsnya. Kekhawatiran  akan terhambatnya  karier atau dimutasikan  ke daerah-daerah  yang kering dapat saja memengaruhi  hakim dalam menangani suatu perkara, apalagi jika perkara itu menyangkut kepentingan instansi pemerintah atau oknum pejabat atau keluarganya.
Keinginan  agar pembinaan  badan peradilan  di bawah  satu  atap dengan  Mahkamah Agung,  sudah dimulai pada awal Orde Baru yaitu ketika Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa   Tengah   menyampaikan    pendapat    agar   badan-badan    peradilan   baik   secara organisatoris maupun secara administrative dan financial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat perlengkapan negara yang berdiri sendiri, dan sejalan dengan itu Departemen Kehakiman tidak diperlukan lagi.
Namun, jika tugas-tugas Departemen Kehakiman   selain pembinaan badan-badan peradilan masih dipandang perlu dilakukan oleh sebuah departemen, maka departemen itu jangan bernama Departemen Kehakiman melainkan diberi nama lain misalnya Departemen Hukum  dan  Perundang-undangan  atau  nama  lain.  Gagasan  IKAHI  Jawa  Tengah  ini kemudian diambil alih menjadi sikap Pengurs Puasat IKAHI melalui putusan tanggal 16
Juni 1996 yang ketika itu mendapat dukungan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun ciri negara hukum yang demokratis ialah sebagai berikut
1.      Adanya proteksi konstitusional.
2.      Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3.      Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.      Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5.      Adanya kebebasan berserikat dan melakukan oposisi.
6.      Adanya pendidikan civic.

3.2 Saran

Sebagai Negara hukum sudah sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan di taati agar terciptalah Negara yang sejahtera, agar demikian masyarakat yang ada didalam dapat terlindungi hukum dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan, sebagai Negara hukum Indonesia adalah salah satu Negara yang menjunjung hukum agar ketentraman di Negara Indonesia senantiasa terjaga dan terpelihara agar terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam bermasyarakat.














DAFTAR PUSTAKA


Website :

http://ejournal.unisri.ac.id/index.php/Wacana/article/








Post a Comment for "makalah negara hukum yang dapat dikatakan demokratis? why?"